A. Proses Pembentukan
Sesuai dengan Undang-undang No. 10 tahun 2004,
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam Pasal 8 disebutkan
bahwa materi muatan yang harus diatur dalam undang-undang berisi hal–hal yang
mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi:
1. hak-hak asasi manusia;
2. hak dan kewajiban warga negara;
3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta
pembagian kekuasaan negara;
4. wilayah negara dan pembagian daerah;
5. kewarganegaraan dan kependudukan;
6. Keuangan negara.
Selanjutnya selain dari yang berkaitan dengan
UUD 1945 adalah diperintahkan oleh suatu Undang-undang untuk diatur dengan
Undang-undang.Hal ini sama dengan ketentuan dalam Undang-undang No. 24 tahun
2000 mengenai hal apa saja dari perjanjian internasional yang disahkan dalam
undang-undang. Beberapa hal yang sama adalah mengenai kedaulatan, hak asasi
manusia, wilayah negara dan masalah keuangan negara.Hal lain adalah merupakan
pejabaran lebih lanjut dan lebih spesifik dari muatan undang-undang secara
umum. Sehingga tidak adanya suatu perbedaan antara undang-undang ratifikasi
perjanjian internasional dan undang-undang pada umumnya dilihat dari sudut
muatan materi undang-undang.
Dalam mengesahkan suatu perjanjian internasional,
lembaga pemrakarsa yang terdiri atas lembaga negara dan lembaga pemerintah,
baik departemen maupun non-departemen, menyiapkan salinan naskah perjanjian,
terjemahan, rancangan undang-undang, atau rancangan keputusan presiden tentang
pengesahan perjanjian internasional dimaksud serta dokumen-dokumen lain yang
diperlukan.
Pengajuan pengesahan perjanjian internasional
dilakukan melalui Menteri untuk disampaikan kepada Presiden.
Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang,
tentang pengesahan perjanjian internasional yang telah disiapkan dengan surat
Presiden kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam surat tersebut Presiden
menegaskan antara lain tentang menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam
melakukan pembahasan rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat.
DPR mulai membahas rancangan undang-undang
dalam jangka waktu paling lmnbat 60 (enam puluh) hari sejak surat Presiden
diterima. Untuk keperluan pembahasan rancangan undang-undang di DPR, menteri
atau pimpinan lembaga pemrakarsa memperbanyak naskah rancangan undang-undang
tersebut dalam jumlah yang diperlukan.
Pembahasan rancangan undang-undang di DPR
dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden atau menteri yang
ditugasi. Pembahasan bersama dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan.
Tingkat-tingkat pembicaraan dilakukan dalam rapat komisi/panitia/alat
kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna.
Tata cara pembahasan rancangan undang-undang tersebut diatur dengan Peraturan
Tata Tertib DPR.
Rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama oleh DPR dan Presiden, disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden
untuk disahkan menjadi Undang-Undang.
Setiap undang-undang atau keputusan presiden
tentang pengesahan perjanjian internasional ditempatkan dalam Lembaran Negara
RI. Penempatan peraturan perundang-undangan pegesahan suatu perjanjian
internasional di dalam Lembaran Negara dimaksudkan agar setiap orang dapat
mengetahui perjanjian yang dibuat pemerintah dan mengikat seluruh warga negara.
Menteri menandatangani piagam pengesahan untuk
mengikatkan pemerintah RI pada suatu perjanjian internasional untuk
dipertukarkan dengan negara-negara pihak dalam perjanjian internasional atau
disimpan oleh negara atau lembaga penyimpanan pada organisasi internasional.
Lembaga penyimpanan (depositary)
merupakan negara atau organisasi internasional yang ditunjuk atau disebut
secara tegas dalam surat perjanjian untuk menyimpan piagam pengesahan
perjanjian internasional. Praktek ini berlaku bagi perjanjian multilateral yagn
memiliki banyak pihak. Lembaga penyimpanan selanjutnya memberitahukan semua
pihak bahwa perjanjian tersebut telah menerima piagam pengesahan dari salah
satu pihak.
Disamping perjanjian internasional yang
disahkan melalui undang-undang atau keputusan presiden, pemerintah dapat
membuat perjanjian interanasional yang berlaku setelah penandatanganan atau
pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara lain sesuai
dengan kesepakatan antara para pihak yang dituangkan dalam perjanjian.
B. Isi dan Substansi
Dalam undang-undang yang mengesahkan suatu
perjanjian internasional biasanya berisi berisi dua sampai dengan tiga Pasal.
Isinya adalah sebagai berikut, Pasal 1, ”Mengesahkan …(nama perjanjian
internasional) yang naskah aslinya dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam
bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Undang-undang ini.” Kemudian dalam Pasal 2, menyatakan ”Undang-undang ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan.” dan ”Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.”
Walaupun dalam undang-undang yang mesahkan
perjanjian internasional diyatakan bahwa naskah asli dalam bahasa asli dan
terjemahannya dalam bahasa indonesia merupaka bagian yang tidak terpisahkan
dari undang-undang, tetapi tetap diperlukan undang-undang yang mengatur lebih
lanjut mengenai masalah yang diperjanjikan dalam perjanjian internasional yang
disahkan oleh undang-undang tersebut.
Pasal lanjutannya yang menyatakan bahwa
undang-undang ini ditempatkan dalam lembaran berita negara agar setiap orang
mengetahui, tidak serta merta menjadikan pengaturan ini berlaku menjadi hukum
nasional, masih diperlukan undang-undang lebih lanjut.
***
Relasi
antara hukum internasional dengan hukum nasional memang belum diatur dengan
jelas meskipun telah ada UU No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Hal ini erat kaitanya dengan tidak tegasnya politik hukum yang dianut oleh
Indonesia. Ada dua teori besar yang dikenal untuk mengatur hubungan antara
hukum internasional dengan hukum nasional, yaitu; monisme dan dualisme.
Teori
monisme menempatkan hukum internasional dan hukum nasional sebagai bagian dari
satu kesatuan sistem hukum. Hukum internasional berlaku dalam lingkup hukum
nasional tanpa harus melalui proses transformasi melainkan inkorporasi sehingga
tidak dibutuhkan legislasi nasional yang sama untuk memberlakukan hukum
internasional dalam hukum nasional. Karena merupakan kesatuan sistem hukum maka
terdapat kemungkinan adanya konflik antara hukum internasional dengan hukum
nasional. Dengan demikian ada dua percabangan dari teori ini; lebih
mengutamakan hukum internasional dibandingkan hukum nasional (primat hukum
internasional) atau sebaliknya (primat hukum nasional) (hlm.97)
Teori
dualisme menempatkan hukum internasional sebagai sistem yang terpisah dari
hukum nasional. Dalam hal ini tidak terdapat hubungan hierarki antara kedua
sistem tersebut. Akibatnya, diperlukan suatu transformasi dari hukum
internasional menjadi hukum nasional berdasarkan peraturan-perundang-undangan.
Dengan adanya transformasi tersebut, maka kaidah hukum internasional diubah
menjadi kaidah hukum nasional untuk berlaku sehingga tunduk pada dan masuk pada
tata urutan perundangan nasional. Karena merupakan dua sistem yang berbeda maka
tidak mungkin terjadi konflik antara keduanya (hlm.97)
Berdasarkan
kedua teori tersebut, apakah politik hukum yang diambil Indonesia? Monisme?
Dualisme? atau campuran? Titik penting yang diangkat dalam buku ini adalah
terkait dengan posisi perjanjian internasional dalam sistem hukum Indonesia.
Politik
hukum Indonesia soal posisi perjanjian internasioal dalam hukum nasional
mula-mula dapat dilacak dalam Pasal 11 UUD 1945 yang berbunyi :
1)
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
2)
Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat
yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus
dengan persetujuan DPR
3)
Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan
undang-undang.
Berdasarkan
bunyi pasal di atas, maka diperlukan persetujuan DPR untuk membuat perjanjian
dengan negara lain atau perjanjian internasional lainnya. Definisi perjanjian
internasional lain diartikan menurut penulis sebagai perjanjian antara
Indonesia dengan organisasi internasional. Meskipun telah mensyaratkan perlu
persetujuan DPR dalam membuat perjanjian internasional, namun pasal tersebut
belum berbicara dengan jelas posisi perjanjian internasional dalam sistem hukum
nasional.
Pada
tataran praktek, setidaknya terdapat tiga tahap pergeseran yang signifikan soal
kata “persetujuan DPR” yaitu :
1)
Periode awal kemerdekaan hingga tahun 1974, persetujuan DPR dituangkan dalam
suatu produk UU, namun UU dalam kaitan ini dimaknai sebagai UU yang bersifat
mengesahkan persetujuan DPR.
2)
Periode 1974-Orde Baru, sekalipun tidak konsisten, UU yang mengesahkan
persetujuan DPR ini kemudian dimaknai UU dalam arti formil dan bersifat
penetapan
3)
Sejak adanya UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan, UU
yang mengesahkan bergeser menjadi UU yang mengesahkan perjanjian itu sendiri
sehingga UU ini adalah UU dalam arti materil dan bersifat mengatur. (hlm.137)
Pergeseran
makna “persetujuan DPR” dalam praktek tersebut terjadi karena memang belum
jelas politik hukum yang diambil oleh Indonesia terkait perjanjian
internasional.
UU
No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional awalnya disusun untuk
mengatur secara terperinci soal posisi perjanjian internasional dalam sistem
hukum Indonesia. Akan tetapi, lagi-lagi politik hukum yang diambil juga belum
jelas. Ada sisi monisme dan dualisme dalam UU tersebut. Terkait soal pengesahan
(ratifikasi) misalnya, Pasal 9 menyebutkan bahwa: “Pengesahan perjanjian
internasional oleh Pemerintah RI dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian
internasional tersebut (ayat 1); Pengesahan perjanjian internasional
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undang-undang atau
keputusan presiden. (ayat 2).”
Pengesahan
sebagai definisi ratifikasi dalam pasal 9 tersebut mencampuradukan arti
ratifikasi sebenarnya dalam hukum internasional. Padahal makna ratifikasi dapat
diposisikan sebagai tindakan internal maupun eksternal suatu negara terhadap
perjanjian internasional. Ratifikasi dalam hukum internasional (eksternal)
diartikan sebagai tindakan konfirmasi dari suatu negara terhadap perbuatan
hukum dari pejabatnya yang telah menandatangani suatu perjanjian. Dengan adanya
ratifikasi maka suatu negara mulai terikat dengan suatu perjanjian
internasional. Hukum internasional tidak mempersoalkan bagaimana mekanisme
internal suatu negara dalam memberlakukan perjanjian internasional.
Pencampuradukan
makna pengesahan (ratifikasi) eksternal dengan internal dalam Pasal 9 di atas,
maka dapat dibenarkan bahwa pengesahan perjanjian internasional melalaui
UU/Keppres, Jika demikian, apakah UU/Keppress ratifikasi menandakan bahwa
perjanjian internasional telah mengikat Indonesia atau perlu kah dibuat
UU/Keppres untuk mentransformasi perjanjian internasional Poin inilah yang coba
dielaborasi dengan baik oleh Damos Dumoli Agusman dalam buku-nya.
Sebagai
wacana pemikiran, Damos Dumoli Agusman mengajak pembaca untuk menguji beberapa
usulan beliau yang berkaitan dengan persoalan bagaimana seharusnya politik
hukum Indonesia soal perjanjian internasional diarahkan. Setidaknya ada 3
wacana yang digulirkan, yaitu :
1)
Monisme sebagai pilihan politik hukum karena mempercepat proses pembentukan
hukum.
2)
Monisme akan mempercepat karena hanya menginkorporasi perjanjian internasional
melalui ratifikasi sehingga tidak perlu membuat UU yang terpisah yang akan
menghabikan waktu dan biaya. Jika memilih dualisme, maka akan membebani
Indonesia dengan proses legislasi
3)
Alasan historis, karena M. Hatta telah menyatakan lebih mengarah ke supremasi
perjanjian internasional
4)
Sistem hukum Indonesia bercermin ke eropa continental yang umumnya berkarakter
monisme.
Tentu
saja usulan-usulan tersebut harus diapresiasi sebagai bagian pertukaran wacana
soal hukum internasional di Indonesia. Dengan adanya pelemparan wacana ini,
maka diharapkan akan terlahir antitesa yang berujung pada sintesa yaitu suatu
politik hukum perjanjian internasional Indonesia yang memihak kepada publik.
IV. Pengesahan Pernjanjian Internasional di
Indonesia
Pembuatan dan pengesahan perjanjian
internasional antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain,
organisasi internasional dan subjek hukum internasional lain adalah suatu
perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara dengan subjek hukum
internasional lainnya. Oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian
internasional dilakukan berdasarkan undang-undang.
Sebelum adanya Undang-Undang No. 24 tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional, kewenangan untuk membuat perjanjian
internasional seperti tertuang dalam Pasal 11 Undang Undang Dasar 1945,
menyatakan bahwa Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian
internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 11 UUD 1945 ini
memerlukan suatu penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian
internasional dapat berlaku dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk itu melalui
Surat Presiden No. 2826/HK/1960 mencoba menjabarkan lebih lanjut Pasal 11 UUD
1945 tersebut.
Pengaturan tentang perjanjian internasional
selama ini yang dijabarkan dalam bentuk Surat Presiden No. 2826/HK/1960,
tertanggal 22 Agustus 1960, yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan
Rakyat, dan telah menjadi pedoman dalam proses pengesahan perjanjian
internasional selama bertahun-tahun. Pengesahan perjanjian internasional
menurut Surat Presiden ini dapat dilakukan melalui undang-undang atau keputusan
presiden, tergantung dari materi yang diatur dalam perjanjian internasional.
Tetapi dalam prateknya pelaksanaan dari Surat Presiden ini banyak terjadi
penyimpangan sehingga perlu untuk diganti dengan Undang-Undang yang mengatur
secara khusus mengenai perjanjian internasional.
Hal ini kemudian yang menjadi alasan perlunya
perjanjian internasional diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Dalam
Undang Undang No. 24 Tahun 2000, adapun isi yang diatur dalam undang-undang
tersebut adalah:
- Ketentuan Umum
- Pembuatan Perjanjian Internasional
- Pengesahan Perjanjian Internasional
- Pemberlakuan Perjanjian Internasional
- Penyimpanan Perjanjian Internasional
- Pengakhiran Perjanjian Internasional
- Ketentuan Peralihan
- Ketentuan Penutup
Dalam pengesahan perjanjian internasional
terbagi dalam empat kategori, yaitu:
- Ratifikasi (ratification), yaitu apabila
negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut
menandatangani naskah perjanjian internasional;
- Aksesi (accesion), yaitu apabila negara
yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut
menandatangani naskah perjanjian;
- Penerimaan (acceptance) atau penyetujuan (approval)
yaitu pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada
suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian internasional
tersebut;
- Selain itu juga ada perjanjian-perjanjian
internasional yang sifatnya self-executing (langsung berlaku pada
saat penandatanganan).
Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional
penandatanganan suatu perjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai
pengikatan para pihak terhadap perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu
perjanjian internasional memerlukan pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian
internasional tidak akan mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut
disahkan.
Seseorang yang mewakili pemerintah dengan
tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan
negara terhadap perjanjian internasional, memerlukan Surat Kuasa (Full
Powers). Pejabat yang tidak memerlukan surat kuasa adalah Presiden dan
Menteri.
Tetapi penandatanganan suatu perjanjian
internasional yang menyangkut kerjasama teknis sebagai pelaksanaan dari
perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada dalam lingkup kewenangan
suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun non-departemen,
dilakukan tanpa memerlukan surat kuasa.
Pengesahan perjanjian internasional oleh
pemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian interansional
tersebut. Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan
ketetapan yang disepakati oleh para pihak. Perjanjian internasional yang
memerlukan pengesahan mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan
yang diatur dalam undang-undang.
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan
dengan undang-undang atau keputusan Presiden. Pengesahan dengan undang-undang
memerlukan persetujuan DPR. Pengesahan dengan keputusan Presiden hanya perlu
pemberitahuan ke DPR.
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan
melalui undang-undang apabila berkenaan dengan:
- masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan
keamanan negara;
- perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah
negara;
- kedaulatan atau hak berdaulat negara;
- hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
- pembentukan kaidah hukum baru;
- pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Di dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPR
dapat meminta pertanggung jawaban atau keterangan dari pemerintah mengenai
perjanjian internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan
kepentingan nasional, perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan atas
permintaan DPR, sesuai dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang No. 24
tahun 2000.
Indonesia sebagai negara yang menganut paham
dualisme, hal ini terlihat dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 24 tahun 2000,
dinyatakan bahwa:
”Pengesahan perjanjian internasional
sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dilakukan dengan undang-undang atau
keputusan presiden.”
Dengan demikian pemberlakuan perjanjian
internasional ke dalam hukum nasional indonesia tidak serta merta. Hal ini juga
memperlihatkan bahwa Indonesia memandang hukum nasional dan hukum internasional
sebagai dua sistem hukum yang berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya.
Perjanjian internasional harus
ditransformasikan menjadi hukum nasional dalam bentuk peraturan
perundang-undangan. Perjanjian internasional sesuai dengan UU No. 24 tahun
2000, diratifikasi melalui undang-undang dan keputusan presiden. Undang-undang
ratifikasi tersebut tidak serta merta menjadi perjanjian internasional menjadi
hukum nasional Indonesia, undang-undang ratifikasi hanya menjadikan Indonesia
sebagai negara terikat terhadap perjanjian internasional tersebut. Untuk
perjanjian internasional tersebut berlaku perlu dibuat undang-undang yang lebih
spesifik mengenai perjanjanjian internasional yang diratifikasi, contoh
Indonesia meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights
melalui undang-undang, maka selanjutnya Indonesia harus membuat undang-undang
yang menjamin hak-hak yang ada di covenant tersebut dalam undang-undang yang
lebih spesifik.
Perjanjian internasional yang tidak
mensyaratkan pengesahan dalam pemberlakuannya, biasanya memuat materi yang
bersifat teknis atau suatu pelaksana teknis terhadap perjanjian induk.
Perjanjian internasional seperti ini dapat lansung berlaku setelah
penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau
melalui cara lain yang disepakati dalam perjanjian oleh para pihak.
Perjanjian yang termasuk dalam kategori ini
diantaranya adalah perjanjian yang materinya mengatur secara teknis kerjasama
bidang pendidikan, sosial, budaya, pariwisata, penerangan kesehatan, pertanian,
kehutanan dan kerjasam antar propinsi atau kota. Perjanjian internasional mulai
berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan yang ditetapkan
dalam perjanjian tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar