Pada
tahun 2012, LSM Fund for Peace menempatkan Indonesia sebagai Negara gagal. Berdasarkan
survei Fund for Peace tentang failed state index (FSI), Indonesia
mendapat status buruk pada dua indikator yaitu Demographic pressure
dan group grievance. Demographic pressure atau tekanan demografi,
seperti bencana alam, penyakit, dan polusi. Sedangkan group grievance
antara lain adanya diskriminasi, penindasan, dan kekerasan terhadap etnis.
Dalam
indeks negara gagal (FSI) 2012, Indonesia menduduki peringkat ke-63 dari 178
negara. Dalam kategori tersebut, RI masuk kategori negara dalam bahaya (in
danger) menuju negara gagal. Indonesia masih jauh tertinggal dibanding
Singapura, yang berada di posisi ke-157 dengan skor 35,6. Adapun Malaysia
berada di peringkat ke-110 dan Thailand di peringkat ke-84 dengan skor 77.
Memang
tidak dapat disangkal lagi bila Indonesia dimasukkan ke dalam kategori Negara
gagal melihat dua indikator tersebut. Walaupun banyak pihak yang meragukan
kredibilitas lembaga Fund for Peace sehingga mereka menganggap bahwa tidak
benar Negara Indonesia masuk ke dalam Negara gagal. Padahal kenyataannya memang
seperti itu. Terlebih lagi jika kita mengulas kembali mengenai group grievance
yaitu diskriminasi, penindasan dan kekerasan terhadap etnis. Ini sangat banyak
kasusnya di Indonesia. Bangsa Indonesia sering mempermasalahkan mengenai hal
tersebut. Yang lebih merasakannya adalah kaum minoritas. Berbeda agama,berbeda
suku dijadikan sebagai masalah. Lebih kecil lagi yaitu berbeda cara beribadah
saja dijadikan konflik antara dua kubu hingga menyebabkan terjadinya pembakaran
tempat ibadah. Ini sangat miris. Yang lebih menyakitkan lagi adalah sikap abai
pemerintah yang seolah-olah konflik tersebut “hal biasa”.
Harusnya
yang lebih disorot adalah pemerintah. Saat ini pemerintah tidak berpihak lagi
kepada rakyat. Mereka lebih mementingkan kepentingan mereka sendiri. kaum
bangsawan dan pemilik modal. Kini pemerintah tidak lagi bersahabat dengan
rakyat tetapi menjadi musuh rakyat sebab pejabat-pejabat pemerintahan mengambil
hak yang harusnya diberikan kepada rakyat. Ketika rakyat bergolak menuntut
haknya pemerintah bersikap acuh tak perduli.
Dalam
pandangan pemerintah modern, pemerintah itu dibentuk untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat, tidak untuk melayani dirinya sendiri. Tetapi teori hanya lah
sebuah teori, sangat berbeda dengan kenyataannya. Buktinya adalah banyaknya
pemberitaan mengenai pejabat pemerintah yang korupsi berratus-ratus juta hingga
milyaran. Uang yang harusnya digunakan untuk pembangunan Negara diembat demi
kepentingan perut dan kekuasaan. Disisi lain, para koruptor itu banyak yang
tidak tersentuh oleh proses hukum. Lihat pula proses persidangan para koruptor
kakap di pengadilan yang seolah-seolah disengaja untuk “lamban”. Nanti, kalau
rakyat sudah tidak menyimak kasus itu, hakim akan menjatuhkan vonis ringan.
Disinilah kinerja pemerintah sebagai penegak hukum diragukan.
Selain
itu mengenai kesejahteraan rakyat, apalagi, inilah yang paling buruk saat ini.
Dulu sudah ada kaya dan miskin, tetapi jurang pemisahnya belum terlalu dalam.
Sekarang, sejak pemerintah doyan menggunakan resep neoliberal, kesenjangan dan
ketidakadilan ekonomi sungguh luar biasa. Bayangkan, kekayaan 43 ribu orang
terkaya di Indonesia itu setara dengan kekayaan 140 juta penduduk.
Kekayaan
alam kita, yang sejak dulu dikenal sangat melimpah, tidak menjadi senjata
memakmurkan rakyat. Sebagian besar kekayaan alam itu, seperti minyak, gas,
batubara, tembaga, emas, nikel, bauksit, dan lain-lain, sudah berpindah tangan
ke sejumlah perusahaan asing. Bahkan, demi mempermudah proses penyerahan
kekayaan alam itu kepada pihak asing, pemerintah daerah diberi lisensi bernama
“Ijin Usaha Pertambangan”. Jadinya, seperti dikatakan orang, diperkirakan 90%
dari keuntungan eksplorasi SDA itu diangkut keluar negeri, sedangkan 10%
sisanya masuk ke kantong penguasa.
Jika
ada orang yang berpendapat “Mengapa pemerintahan kita tidak otoriter saja?
Banyak Negara otoriter yang maju”. Menurut saya, jika menerapkan hal itu sama
saja kita bunuh diri. Mengapa? Karena di Negara kita, yang saat ini menerapkan
sistem demokrasi, para pejabatnya banyak yang melakukan korupsi dan sebagainya.
Jika kita menjadikan Negara kita sebagai Negara otoriter maka rakyat jelata
tidak dapat berbuat apa-apa. Kita sebagai rakyat tidak dapat menuntut
pemerintah. kita sebagai rakyat hanya akan ditindas. Oleh karena itu, kita
sebagai harus mengontrol kinerja pemerintahan kita agar pemerintah kita bersih
dari korupsi kolusi dan nepotisme. Dan juga lebih memikirkan kepentingan dan
kesejahteraan rakyat.
0 komentar:
Posting Komentar