Selasa, 11 Maret 2014

Essay



AKSARA JAWA DALAM CENGKERAMAN MODERNISASI

A. Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya, terutama bahasa dan sastra. Lebih dari 746 bahasa daerah di Indonesia. Sedangkan dari semua sastra tradisional Nusantara, sastra Jawa adalah yang paling berkembang dan paling banyak tersimpan karya sastranya. Sebagian besar sastra Jawa ditulis dengan menggunakan aksara Jawa. Namun, kini, tidak hanya bahasa Jawa saja yang mulai bergeser dari zaman modern ini tetapi aksara Jawa pun mulai bergeser. Yang disayangkan lagi, orang Jawa yang merupakan pemilik aslinya tak mengenali warisan itu. Hingga terdapat ungkapan yang mengungkapkan, “wong Jawa ilang Jawane”. Ini mencerminkan bahwa bahasa Jawa terutama aksara Jawa telah mengalami pergeseran fungsi, peran dan kedudukan yang cukup memprihatinkan.

Perkembangan globalisasi pun turut berperan. Dalam hal ini perkembangan globalisasi atau modernisasi berpengaruh terhadap pengetahuan masyarakat Jawa tentang aksara Jawa. Bahkan masyarakat Jawa tidak mengenal aksara Jawa yang merupakan warisan leluhurnya sendiri. Jika ada masyarakat yang mengenal aksara Jawa, mungkin hanya sebatas mengetahui saja, tidak dapat mengerti atau pun membaca tulisan yang beraksara Jawa. Dan dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Jawa hanya mempergunakan huruf latin dalam menulis. Ditambah, masyarakat Jawa lebih mengenal budaya asing yang dengan mudah masuk ke Indonesia. Tidak hanya itu, mereka berlomba-lomba dalam mempelajari budaya tersebut. Yang artinya tidak ‘gaul’ jika tidak menguasainya. Apalagi dengan masuknya budaya Korea ke Indonesia saat ini, menyebabkan masyarakat Jawa lebih tertarik untuk mempelajari budaya Korea, yaitu mempelajari huruf hangul (aksara korea) dibandingkan mempelajari aksara Jawa. Mereka pun lebih mengelu-elukannya, menganggap aksara korea adalah tren. Jika kedaan ini terus berlanjut, maka aksara Jawa akan mengalami pergeseran di zaman modern ini. Bahkan, akan hilang dari kehidupan masyarakat Jawa.

B. Mengenal Aksara Jawa
Aksara merupakan bentuk bahasa tertulis. Yaitu rekaman dari bahasa lisan sebagai usaha manusia untuk menyimpan bahasanya atau untuk bisa disampaikan kepada orang lain yang berada dalam ruang dan waktu yang berbeda (Abdul Chaer: 1997). Aksara memiliki wilayah persebaran tertentu dan digunakan oleh masyarakat yang mendiami wilayah tersebut. Aksara Jawa merupakan salah satu aksara dari suku bangsa yang besar (suku bangsa Jawa). Yaitu suku bangsa yang terdiri dari berjuta-juta penduduk dan, selalu menunjukkan suatu variasi yang ditentukan oleh perbedaan daerah secara geografi maupun oleh lapisan serta lingkungan sosial masyarakatnya.
Menurut id.wikipedia.org, Aksara Jawa (atau dikenal dengan nama hanacaraka atau carakan) adalah aksara jenis abugida turunan aksara Brahmi yang digunakan atau pernah digunakan untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa. Bentuk aksara Jawa yang sekarang dipakai (modern) sudah tetap sejak masa Kesultanan Mataram (abad ke-17) tetapi bentuk cetaknya baru muncul pada abad ke-19. Aksara ini adalah modifikasi dari aksara Kawi dan merupakan abugida.
Di dalam buku HA NA CA RA KA (Slamet Riyadi) terbitan Yayasan Pustaka Nusantara Yogyakarta dijelaskan tentang sejarah aksara Jawa baru yang juga dinamakan sastra sarimbangan atau carakan, yang tidak bisa dipisahkan dengan bab kelahiran dan pendapukan aksara tersebut. Menurut Slamet Riyadi, di dalam bukunya yang berisi kelahiran, penyusunan, fungsi, dan makna Ha-Na-Ca-Ra-Ka tersebut terdapat 2 konsepsi yang digunakan untuk menelusuri kelahiran aksara Jawa dan penyusunan abjad ha-na-ca-ra-ka, yaitu konsepsi secara tradisional dan konsepsi secara ilmiah. Dasar konsepsi secara tradisional lahirnya aksara Jawa dihubungkan dengan Legenda Aji Saka, cerita turun-temurun berbentuk tutur tinular (dari mulut ke mulut) tentang perkelahian dan perang antara Dora dan Sembada karena merebutkan keris pusaka milik Aji Saka.
Dikisahkan ada seorang pemuda tampan yang sakti mandraguna, yaitu Ajisaka. Ajisaka tinggal di pulau Majethi bersama dua orang punggawa (abdi) setianya yaitu Dora dan Sembada. Kedua abdi ini sama-sama setia dan sakti. Suatu saat Ajisaka ingin pergi meninggalkan pulau Majethi. Dia menunjuk Dora untuk menemaninya mengembara. Sedangkan Sembada, diperintahkan tetap tinggal di pulau Majethi. Ajisaka menitipkan pusakanya untuk dijaga oleh Sembada. Dia berpesan supaya jangan menyerahkan pusaka itu kepada siapa pun, kecuali pada Ajisaka sendiri.
Lain kisah, di pulau Jawa ada sebuah kerajaan yang sangat makmur sejahtera yaitu kerajaan Medhangkamulan. Rakyatnya hidup sejahtera. Kerajaan Medhangkamulan dipimpin oleh seorang raja arif bijaksana bernama Dewatacengkar. Prabu Dewatacengkar sangat cinta terhadap rakyatnya.
Pada suatu hari ki juru masak kerajaan Medhangkamulan yang bertugas membuat makanan untuk prabu Dewatacengkar mengalami kecelakaan saat memasak. Salah satu jarinya terkena pisau hingga putus dan masuk ke dalam masakannya tanpa dia ketahui. Disantaplah makanan itu oleh Dewatacengkar. Dia merasakan rasa yang enak pada masakan itu. Dia bertanya daging apakah itu. Ki juru masak baru sadar bahwa dagingnya disantap Dewatacengkar dan menjawab bahwa itu adalah daging manusia. Dewatacengkar ketagihan dan berpesan supaya memasakkan hidangan daging manusia setiap hari. Dia meminta sang patih kerajaan supaya mengorbankan rakyatnya setiap hari untuk dimakan. Karena terus menerus memakan daging manusia, Dewatacengkar berubah menjadi raja yang kejam dan bengis. Daging yang disantapnya sekarang adalah daging rakyatnya. Rakyatnya pun sekarang hidup dalam ketakutan. Tak satupun rakyat berani melawannya, begitu juga sang patih kerajaan.
Saat itu juga Ajisaka dan Dora tiba di kerajaan Medhangkamulan. Mereka heran dengan keadaan yang sepi dan menyeramkan. Dari seorang rakyat, beliau mendapat cerita kalau raja Medhangkamulan gemar makan daging manusia. Ajisaka menyusun siasat. Dia menemui sang patih untuk diserahkan kepada Dewatacengkar agar dijadikan santapan. Awalnya sang patih tidak setuju dan kasihan. Tetapi Ajisaka bersikeras dan akhirnya diizinkan.
Dewatacengkar keheranan karena ada seorang pemuda tampan dan bersih ingin menyerahkan diri. Ajisaka mengatakan bahwa dia mau dijadikan santapan asalkan dia diberikan tanah seluas ikat kepalanya dan yang mengukur tanah itu harus Dewatacengkar. Sang prabu menyetujuinya. Kemudian mulailah Dewatacengkar mengukur tanah. Saat digunakan untuk mengukur, tiba-tiba ikat kepala Dewatacengkar meluas tak terhingga. Kain itu berubah menjadi keras dan tebal seperti lempengan besi dan terus meluas sehingga mendorong Dewatacengkar. Dewatacengkar terus terdorong hingga jurang pantai laut selatan. Dia terlempar ke laut dan seketika berubah menjadi seekor buaya putih. Ajisaka kemudian dinobatkan menjadi raja Medhangkamulan.
Setelah penobatan, Ajisaka mengutus Dora pergi ke pulau Majethi untuk mengambil pusaka andalannya. Kemudian pergilah Dora ke pulau Majethi. Sesampai di pulau Majethi, Dora menemui Sembada untuk mengambil pusaka. Sembada teringat akan pesan Ajisaka saat meninggalkan pulau Majethi untuk tidak menyerahkan pusaka tersebut kepada siapa pun kecuali kepada Ajisaka. Dora yang juga berpegang teguh pada perintah Ajisaka untuk mengambil pusaka memaksa supaya pusaka itu diserahkan. Kedua abdi setia tersebut beradu mulut bersikukuh pada pendapatnya masing-masing. Dan akhirnya mereka berdua bertempur. Pada awalnya mereka berdua hati-hati dalam menyerang karena bertarung melawan temannya sendiri. Tetapi pada akhirnya benar-benar terjadi pertumpahan darah. Sampai pada titik akhir yaitu kedua abdi tersebut tewas dalam pertarungan karena sama-sama sakti.
Berita tewasnya Dora dan Sembada terdengar sampai Ajisaka. Dia sangat menyesal atas kesalahannya yang membuat dua punggawanya meninggal dalam pertarungan. Dia mengenang kisah kedua punggawanya lewat deret aksara. Berikut tulisan dan artinya:
ha na ca ra ka
Ana utusan (ada utusan)
da ta sa wa la

Padha kekerengan (saling berselisih pendapat)
pa dha ja ya nya
Padha digdayané (sama-sama sakti)
ma ga ba tha nga
Padha dadi bathangé (sama-sama menjadi mayat)
            Sedangkan, menurut Prof. Dr. Poerbatjaraka, konsep ilmiah adanya aksara jawa, yaitu sebelum orang-orang India ke Jawa, orang Jawa belum memiliki aksara. Mereka masih menggunakan bahasa lisan. Dengan adanya aksara yang dibawa dari India, sedikit demi sedikit bahasa tertulis mulai digunakan.
            Aksara Jawa memiliki 20 huruf dasar (aksara nglegena), yang biasa diurutkan menjadi suatu cerita pendek; 20 huruf pasangan (aksara pasangan) yang berfungsi menutup bunyi vokal konsonan di depannya; 8 huruf utama (aksara murda), aksara murda hampir setara dengan huruf kapital, digunakan untuk menuliskan kata-kata yang menunjukkan nama gelar, nama diri, nama geografi, nama lembaga pemerintah, dan nama lembaga berbadan; 8 pasangan huruf utama; lima aksara swara (huruf vokal depan), digunakan untuk menuliskan aksara vokal yang menjadi suku kata, terutama yang berasal dari bahasa asing, untuk mempertegas pelafalannya; lima aksara rekan, digunakan untuk menuliskan aksara konsonan pada kata-kata asing yang masih dipertahankan seperti aslinya, dan lima pasangannya; beberapa sandhangan sebagai pengatur vokal, beberapa huruf khusus, beberapa tanda baca, dan beberapa tanda pengatur tata penulisan (pada). Aksara Jawa ditulis menggantung (di bawah garis), seperti aksara Hindi. Tatacara penulisan aksara Jawa tidak mengenal spasi, sehingga penggunaan pasangan dapat memperjelas kluster kata.



C. Pergeseran dan Pemudaran Aksara Jawa pada Masyarakat Jawa Modern
            Aksara Jawa merupakan bentuk bahasa tertulis dari bahasa Jawa. Di Indonesia, bahasa Jawa terutama aksara Jawa memiliki penutur terbanyak jika dibandingkan dengan aksara daerah lain. Selain itu masih ditambah lagi dengan mereka yang tinggal di belahan bumi lain seperti Suriname. Namun, pergeseran aksara Jawa sebagai bahasa tertulis dari bahasa Jawa kini terlihat sangat jelas pada masyarakat Jawa modern. Faktor penyebab bergeser dan memudarnya aksara Jawa, yaitu faktor intern seperti kurangnya kesadaran dalam memelestarikan aksara Jawa dan faktor ekstern seperti adanya pengaruh budaya asing yang bertolak belakang dengan kebudayaan Jawa.
Saat ini, dapat dikatakan aksara Jawa merupakan aksara yang tidak fungsional. Hampir tidak ditemukan naskah-naskah baru yang tertulis dengan aksara Jawa. Kecuali hanya beberapa, misalnya sebagai interior atau eksterior bangunan, atau pun hanya terdapat di dalam buku pelajaran bahasa Jawa. Sementara itu, hanya sebagian kecil masyarakat Jawa yang menguasai penulisan aksara Jawa. Itu pun mayoritas adalah orang-orang  lanjut usia, karena pada masa kecilnya selalu diajarkan menulis menggunakan aksara Jawa dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat Jawa tempo dulu pun sangat mematuhi adat istiadat atau perintah yang telah dikeluarkan Sultan atau Raja mereka, sehingga mereka dapat menguasai bahasa Jawa terlebih aksara Jawa. Sedangkan generasi muda justru kehilangan minat terhadap aksara Jawa. Pengaruh ini disebabkan oleh generasi muda yang lebih menyukai budaya modern dibandingkan dengan budaya Jawa. Mereka menganggap budaya modern memberikan kebebasan kepada mereka untuk berekspresi tanpa harus mematuhi sebuah aturan. Selain itu, modernisasi mengubah cara pandang generasi muda masyarakat Jawa, yaitu budaya Jawa terutama aksara Jawa adalah kuno, kebudayaan klasik yang tidak dapat diimplementasikan pada zaman modern. 
Pergeseran dan pemudaran aksara Jawa juga terlihat dari fungsi aksara Jawa saat ini, yang hanya berfungsi sebagai pengetahuan yang diajarkan kepada siswa sekolah dasar. Sementara itu di tingkat lanjutan hanya beberapa sekolah yang memasukkan pembelajaran bahasa dan aksara Jawa ke dalam mulok. Itu pun tidak sampai menjadi ketrampilan karena tidak difungsikan sebagai aksara penulisan sehari-hari. Sementara pada level perguruan tinggi hanya ada beberapa yang memberikan fasilitas pendidikan bahasa, aksara dan sastra serta kesenian Jawa. Oleh karena itu, mata pelajaran bahasa Jawa termasuk pengetahuan menuliskan aksara Jawa tidak akan dapat menempati kedudukan sebagai kebutuhan hidup orang Jawa, melainkan dianggap sebagai siksaan oleh para siswa. Sebab siswa beranggapan bahwa pengajaran pengetahuan menulis aksara Jawa itu hanya menambah beban pekerjaan mereka saja. Mereka pun menganggap pembelajaran aksara Jawa tidak bermanfaat bagi mereka. Kemudian muncul spekulasi bahwa sekolah yang disebut sebagai lembaga pendidikan dijadikan sebagai salah satu faktor yang menyebabkan bergesernya aksara Jawa pada masyarakat Jawa modern. Ini disebabkan sekolah hanya menuntut siswa dapat menulis dengan aksara latin atau abjad.
Penyebab lain bergeser dan memudarnya aksara Jawa pada masyarakat Jawa modern adalah beralihnya fungsi aksara Jawa zaman dahulu dengan fungsi aksara Jawa saat ini. Pada masa terdahulu aksara Jawa berfungsi sebagai alat untuk menciptakan suatu karya sastra, sedangkan fungsi aksara Jawa saat ini hanya sebagai lambang kebanggaan daerah dan masyarakat Jawa, artinya hanya sebagai lambang identitas daerah dan masyarakat Jawa, sebagai pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia, serta sarana pendukung daerah dan budaya Indonesia.
Dalam hal ini faktor ekstern, yaitu pengaruh globalisasi dan modernisasi pun tidak mungkin dihindari. Penggunaan tulisan latin (abjad) dianggap masyarakat Jawa lebih praktis dibandingkan menggunakan aksara Jawa. Persepsi ini muncul karena di dalam aksara Jawa terdapat aturan-aturan yang harus digunakan, padahal sebagian masyarakat tidak mengetahuinya. Penyebab lain, yaitu kebiasaan masyarakat yang menulis dengan menggunakan aksara latin, dan masyarakat awam lebih memahami aksara latin. Ditambah lagi, Negara Indonesia adalah negara yang aksaranya menggunakan aksara latin atau abjad.

D. Penutup
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pergeseran dan pemudaran aksara Jawa dalam masyarakat Jawa saat ini disebabkan oleh modernisasi yang mempengaruhi aksara Jawa dan penurunan penggunaan aksara Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Ditambah, kurangnya kesadaran masyarakat Jawa terutama generasi muda untuk melestarikan aksara Jawa yang merupakan kebudayaan Jawa itu sendiri. Selain itu tidak menutup kemungkinan bahwa aksara Jawa akan punah dikemudian hari seperti beberapa aksara daerah lain di Indonesia.
Maka perlu dilakukan berbagai upaya dalam melestarikan aksara Jawa. Dalam makalahnya pada Kongres Bahasa Jawa III, Abdul Wahab menuliskan tentang upaya pembinaan yang dapat dilakukan dalam meningkatkan mutu apresiasi sastra daerah yang di dalamnya termasuk bahasa, aksara dan sastra Jawa. Upaya peningkatan ini bisa dilakukan melalui pendidikan, pengajaran, pemasyarakatan, dan pemberdayaan bahasa, aksara dan sastra daerah. Secara konkrit sebagai berikut:
1.       Adakan pendidikan dan pengajaran sastra daerah tersendiri sebagai mata pelajaran dalam kurikulum, bukan merupakan bagian kecil dari pendidikan dan pengajaran bahasa daerah,
2.       Adakan guru-guru satra daerah yang bermutu,
3.       Adakan atmosfir yang bermutu untuk mendukung penciptaan karya sastra yang bermutu pula,
4.       Manfaatkan tokoh-tokoh sastra daerah yang masih kreatif dan produktif,
5.       Berikan penghargaan yang wajar kepada sastrawan daerah, dan adakan penerjemahan karya sastra yang memiliki nilai universal.
Masih menurut Abdul Wahab, aksara daerah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan budaya daerah. Ada bebrapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengembalikan eksistensi aksara daerah (khususnya aksara Jawa) dengan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dicantumkan pada mata uang, petunjuk-petunjuk produk Indonesia sebagaimana produsen-produsen Cina, Arab, Thailand, dan lain-lain.
Namun, dalam hal ini yang sangat diperlukan, yaitu peran pemerintah untuk mengkoordinasi, supaya budaya Jawa terutama aksara Jawa tidak mengalami kepunahan di zaman modern ini. Misalnya saja dengan  mengadakan seminar-seminar tentang bahasa dan sastra Jawa. Mendirikan museum-museum yang memuat koleksi-koleksi sastra Jawa yang dapat menjadi satu alternatif untuk mengenalkan aksara Jawa. Alternatif lain dapat berupa bedah kitab-kitab Jawa maupun penyelenggarakan festifal budaya Jawa secara periodik. Penyuluhan oleh sarjana-sarjana sastra Jawa terhadap masyarakat juga merupakan peran aktif pemerintah.
Upaya lain yang dapat dilakukan yakni dengan meningkatkan penggunaan aksara Jawa. Hal tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan dan peningkatan pengajaran di sekolah, yaitu dengan meningkatkan mata pelajaran bahasa Jawa dalam muatan lokal, dan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Artinya, seluruh lapisan masyarakat sangat berperan dalam pelestrian aksara Jawa agar tidak pudar, terutama generasi muda. Ini disebabkan, generasi muda adalah penerus masa depan yang dapat melestarikan aksara Jawa, tanpa peran generasi muda maka aksara Jawa akan hilang dari peradaban masyarakat Jawa. Walaupun begitu, generasi tua tetap harus berperan dalam melestarikan aksara Jawa yaitu dengan mengajarkan aksara Jawa kepada generasi muda. Sedangkan dalam mengantisipasi pengaruh negatif dari perkembangan zaman atau globalisasi dapat digunakan setrategi-strategi atau cara agar tidak mudah terpengaruh antara lain beradaptasi, luwes, pandai, fleksibel tetapi waspada dan juga harus selalu menanamkan kebanggaan dan kecintaan yang mendalam terhadap budaya Jawa.
Namun, esensi dari upaya-upaya tersebut adalah kesadaran betapa penting dan luhurnya aksara Jawa dari masyarakat Jawa sendiri. Untuk itu yang paling penting dalam pelestarian aksara Jawa adalah penanaman kesadaran masyarakat Jawa bahwa  bahasa, aksara dan sastra Jawa merupakan bukti historis masyarakat Jawa. Kesadaran akan fungsi-fungsi menjaga dan melestarikan aksara Jawa merupakan pondasi untuk mewujudkan upaya-upaya yang telah disebutkan di atas.
Dengan demikian tidak seharusnya muncul kalimat “wong jowo ilang jawane” atau “wong jowo ora njawani” yang memiliki inti makna yang sama, yaitu orang Jawa yang tidak bertingkah laku seperti halnya orang Jawa. Maka kita sebagai orang Jawa, dari sekarang harus mencerminkan tingkah laku orang Jawa dengan cara mempelajari dan melesetarikan bahasa Jawa terutama aksara Jawa. Jangan sampai modernisasi mencengkeram aksara Jawa dalam peradaban masyarakat Jawa, yang sebelumnya sekelompok kasepuhan (golongan tua) telah memprediksi bahwa kebudayaan Jawa hanya akan sampai tiga generasi lagi. Maka, hal ini jangan sampai terjadi.

Daftar Pustaka
Anonim. 2011. Sastra Jawa.
     Diakses pada tanggal 18 Juni 2012 10.05 WIB

Anonim. 2011. Sejarah dan Arti Huruf Aksara Jawa.
     Diakses pada tanggal 19 Juni 2012 pukul 08.43 WIB

Anonim. 2012. Aksara Jawa.
     Diakses pada tanggal 19 Juni 2012 pukul 09.10 WIB

Anonim. 2012. Pengantar Aksara Jawa.
     Diakses pada tanggal 19 Juni 2012

Muchlis. Budaya.
     Diakses pada tanggal 20 Juni 2012

Risha. 2010. Faktor yang Menyebabkan Bergesernya Aksara Jawa pada Masyarakat Jawa.
     Diakses pada tanggal 19 Juni 2012 pukul 09.40 WIB

Sumaryono. 2009. Kawuryan Basa Jawa Kangge SMA, MA, SMK Kelas X Semester 1. Sleman : MGMP Bahasa Jawa Kabupaten Sleman.

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar