AKSARA JAWA DALAM CENGKERAMAN
MODERNISASI
A.
Pendahuluan
Indonesia adalah
negara yang kaya akan budaya, terutama bahasa dan sastra. Lebih dari 746 bahasa
daerah di Indonesia. Sedangkan dari semua sastra tradisional Nusantara,
sastra Jawa adalah yang paling berkembang dan paling banyak tersimpan karya
sastranya. Sebagian besar sastra Jawa ditulis dengan menggunakan aksara Jawa.
Namun, kini, tidak hanya bahasa Jawa saja yang mulai bergeser dari zaman modern
ini tetapi aksara Jawa pun mulai bergeser. Yang disayangkan lagi, orang Jawa
yang merupakan pemilik aslinya tak mengenali warisan itu. Hingga terdapat
ungkapan yang mengungkapkan, “wong Jawa ilang Jawane”. Ini mencerminkan bahwa bahasa
Jawa terutama aksara Jawa telah mengalami pergeseran fungsi, peran dan
kedudukan yang cukup memprihatinkan.
Perkembangan
globalisasi pun turut berperan. Dalam hal ini perkembangan globalisasi atau
modernisasi berpengaruh terhadap pengetahuan masyarakat Jawa tentang aksara Jawa.
Bahkan masyarakat Jawa tidak mengenal aksara Jawa yang merupakan warisan
leluhurnya sendiri. Jika ada masyarakat yang mengenal aksara Jawa, mungkin
hanya sebatas mengetahui saja, tidak dapat mengerti atau pun membaca tulisan yang
beraksara Jawa. Dan dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Jawa hanya
mempergunakan huruf latin dalam menulis. Ditambah, masyarakat Jawa lebih mengenal
budaya asing yang dengan mudah masuk ke Indonesia. Tidak hanya itu, mereka berlomba-lomba
dalam mempelajari budaya tersebut. Yang artinya tidak ‘gaul’ jika tidak
menguasainya. Apalagi dengan masuknya budaya Korea ke Indonesia saat ini,
menyebabkan masyarakat Jawa lebih tertarik untuk mempelajari budaya Korea,
yaitu mempelajari huruf hangul (aksara korea) dibandingkan mempelajari aksara Jawa.
Mereka pun lebih mengelu-elukannya, menganggap aksara korea adalah tren. Jika
kedaan ini terus berlanjut, maka aksara Jawa akan mengalami pergeseran di zaman
modern ini. Bahkan, akan hilang dari kehidupan masyarakat Jawa.
B.
Mengenal Aksara Jawa
Aksara merupakan
bentuk bahasa tertulis. Yaitu rekaman dari bahasa lisan sebagai usaha manusia
untuk menyimpan bahasanya atau untuk bisa disampaikan kepada orang lain yang
berada dalam ruang dan waktu yang berbeda (Abdul Chaer: 1997). Aksara memiliki
wilayah persebaran tertentu dan digunakan oleh masyarakat yang mendiami wilayah
tersebut. Aksara Jawa merupakan salah satu aksara dari suku bangsa yang besar
(suku bangsa Jawa). Yaitu suku bangsa yang terdiri dari berjuta-juta penduduk
dan, selalu menunjukkan suatu variasi yang ditentukan oleh perbedaan daerah
secara geografi maupun oleh lapisan serta lingkungan sosial masyarakatnya.
Menurut id.wikipedia.org, Aksara Jawa
(atau dikenal dengan nama hanacaraka
atau carakan) adalah aksara
jenis abugida
turunan aksara Brahmi
yang digunakan atau pernah digunakan untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa.
Bentuk aksara Jawa yang sekarang dipakai (modern) sudah tetap sejak masa Kesultanan Mataram
(abad ke-17) tetapi bentuk cetaknya baru muncul pada abad ke-19. Aksara ini
adalah modifikasi dari aksara Kawi
dan merupakan abugida.
Di dalam buku HA
NA CA RA KA (Slamet Riyadi) terbitan Yayasan Pustaka Nusantara Yogyakarta
dijelaskan tentang sejarah aksara Jawa baru yang juga dinamakan sastra
sarimbangan atau carakan, yang tidak bisa dipisahkan dengan bab kelahiran dan
pendapukan aksara tersebut. Menurut Slamet Riyadi, di dalam bukunya yang berisi
kelahiran, penyusunan, fungsi, dan makna Ha-Na-Ca-Ra-Ka tersebut terdapat 2
konsepsi yang digunakan untuk menelusuri kelahiran aksara Jawa dan penyusunan
abjad ha-na-ca-ra-ka, yaitu konsepsi secara tradisional dan konsepsi secara
ilmiah. Dasar konsepsi secara tradisional lahirnya aksara Jawa dihubungkan
dengan Legenda Aji Saka, cerita turun-temurun berbentuk tutur tinular (dari
mulut ke mulut) tentang perkelahian dan perang antara Dora dan Sembada karena
merebutkan keris pusaka milik Aji Saka.
Dikisahkan
ada seorang pemuda tampan yang sakti mandraguna, yaitu Ajisaka. Ajisaka tinggal
di pulau Majethi bersama dua orang punggawa (abdi) setianya yaitu Dora dan
Sembada. Kedua abdi ini sama-sama setia dan sakti. Suatu saat Ajisaka ingin
pergi meninggalkan pulau Majethi. Dia menunjuk Dora untuk menemaninya
mengembara. Sedangkan Sembada, diperintahkan tetap tinggal di pulau Majethi.
Ajisaka menitipkan pusakanya untuk dijaga oleh Sembada. Dia berpesan supaya
jangan menyerahkan pusaka itu kepada siapa pun, kecuali pada Ajisaka sendiri.
Lain
kisah, di pulau Jawa ada sebuah kerajaan yang sangat makmur sejahtera yaitu
kerajaan Medhangkamulan. Rakyatnya hidup sejahtera. Kerajaan Medhangkamulan
dipimpin oleh seorang raja arif bijaksana bernama Dewatacengkar. Prabu
Dewatacengkar sangat cinta terhadap rakyatnya.
Pada
suatu hari ki juru masak kerajaan Medhangkamulan yang bertugas membuat makanan
untuk prabu Dewatacengkar mengalami kecelakaan saat memasak. Salah satu jarinya
terkena pisau hingga putus dan masuk ke dalam masakannya tanpa dia ketahui.
Disantaplah makanan itu oleh Dewatacengkar. Dia merasakan rasa yang enak pada
masakan itu. Dia bertanya daging apakah itu. Ki juru masak baru sadar bahwa
dagingnya disantap Dewatacengkar dan menjawab bahwa itu adalah daging manusia.
Dewatacengkar ketagihan dan berpesan supaya memasakkan hidangan daging manusia
setiap hari. Dia meminta sang patih kerajaan supaya mengorbankan rakyatnya
setiap hari untuk dimakan. Karena
terus menerus memakan daging manusia, Dewatacengkar berubah menjadi raja yang
kejam dan bengis. Daging yang disantapnya sekarang adalah daging
rakyatnya. Rakyatnya pun sekarang hidup dalam ketakutan.
Tak satupun rakyat berani melawannya, begitu juga sang patih kerajaan.
Saat
itu juga Ajisaka dan Dora tiba di kerajaan Medhangkamulan. Mereka heran dengan
keadaan yang sepi dan menyeramkan. Dari seorang rakyat, beliau mendapat cerita
kalau raja Medhangkamulan gemar makan daging manusia. Ajisaka
menyusun siasat. Dia menemui sang patih untuk diserahkan
kepada Dewatacengkar agar dijadikan santapan. Awalnya sang patih tidak setuju
dan kasihan. Tetapi Ajisaka bersikeras dan akhirnya diizinkan.
Dewatacengkar
keheranan karena ada seorang pemuda tampan dan bersih ingin menyerahkan diri.
Ajisaka mengatakan bahwa dia mau dijadikan santapan asalkan dia diberikan tanah
seluas ikat kepalanya dan yang mengukur tanah itu harus Dewatacengkar. Sang
prabu menyetujuinya. Kemudian mulailah Dewatacengkar mengukur tanah. Saat
digunakan untuk mengukur, tiba-tiba ikat kepala Dewatacengkar meluas tak
terhingga. Kain itu berubah menjadi keras dan tebal seperti lempengan besi dan
terus meluas sehingga mendorong Dewatacengkar. Dewatacengkar terus terdorong
hingga jurang pantai laut selatan. Dia terlempar ke laut dan seketika berubah
menjadi seekor buaya putih. Ajisaka kemudian dinobatkan menjadi raja
Medhangkamulan.
Setelah
penobatan, Ajisaka mengutus Dora pergi ke pulau Majethi untuk mengambil pusaka
andalannya. Kemudian pergilah Dora ke pulau Majethi. Sesampai di pulau Majethi,
Dora menemui Sembada untuk mengambil pusaka. Sembada teringat akan pesan
Ajisaka saat meninggalkan pulau Majethi untuk tidak menyerahkan pusaka tersebut
kepada siapa pun kecuali kepada Ajisaka. Dora yang juga berpegang teguh pada
perintah Ajisaka untuk mengambil pusaka memaksa supaya pusaka itu diserahkan.
Kedua abdi setia tersebut beradu mulut bersikukuh pada pendapatnya
masing-masing. Dan akhirnya mereka berdua bertempur. Pada awalnya mereka berdua
hati-hati dalam menyerang karena bertarung melawan temannya sendiri. Tetapi
pada akhirnya benar-benar terjadi pertumpahan darah. Sampai pada titik akhir
yaitu kedua abdi tersebut tewas dalam pertarungan karena sama-sama sakti.
Berita
tewasnya Dora dan Sembada terdengar sampai Ajisaka. Dia sangat menyesal atas
kesalahannya yang membuat dua punggawanya meninggal dalam pertarungan. Dia
mengenang kisah kedua punggawanya lewat deret aksara. Berikut tulisan dan
artinya:
ha na ca
ra ka
Ana utusan (ada utusan)
da ta sa wa la
Padha kekerengan (saling berselisih pendapat)
pa dha ja ya nya
Padha digdayané (sama-sama sakti)
ma ga ba tha nga
Padha dadi bathangé (sama-sama menjadi mayat)
Ana utusan (ada utusan)
da ta sa wa la
Padha kekerengan (saling berselisih pendapat)
pa dha ja ya nya
Padha digdayané (sama-sama sakti)
ma ga ba tha nga
Padha dadi bathangé (sama-sama menjadi mayat)
Sedangkan, menurut Prof. Dr.
Poerbatjaraka, konsep ilmiah adanya aksara jawa, yaitu sebelum orang-orang
India ke Jawa, orang Jawa belum memiliki aksara. Mereka masih menggunakan
bahasa lisan. Dengan adanya aksara yang dibawa dari India, sedikit demi sedikit
bahasa tertulis mulai digunakan.
Aksara Jawa memiliki 20
huruf dasar (aksara nglegena), yang biasa diurutkan menjadi suatu cerita
pendek; 20 huruf pasangan (aksara pasangan) yang berfungsi menutup bunyi
vokal konsonan di depannya; 8 huruf utama (aksara murda), aksara murda
hampir setara dengan huruf kapital, digunakan untuk menuliskan kata-kata
yang menunjukkan nama gelar, nama diri, nama geografi, nama lembaga pemerintah,
dan nama lembaga berbadan; 8 pasangan huruf utama; lima aksara swara (huruf
vokal depan), digunakan untuk menuliskan aksara vokal yang menjadi suku kata,
terutama yang berasal dari bahasa asing, untuk mempertegas pelafalannya; lima
aksara rekan, digunakan untuk menuliskan aksara konsonan pada kata-kata asing
yang masih dipertahankan seperti aslinya, dan lima pasangannya; beberapa sandhangan
sebagai pengatur vokal, beberapa huruf khusus, beberapa tanda baca, dan
beberapa tanda pengatur tata penulisan (pada). Aksara Jawa ditulis
menggantung (di bawah garis), seperti aksara Hindi. Tatacara penulisan
aksara Jawa tidak mengenal spasi, sehingga penggunaan pasangan dapat
memperjelas kluster kata.
C. Pergeseran
dan Pemudaran Aksara Jawa pada Masyarakat Jawa Modern
Aksara
Jawa merupakan bentuk bahasa tertulis dari bahasa Jawa. Di Indonesia, bahasa Jawa terutama aksara Jawa memiliki penutur
terbanyak jika dibandingkan dengan aksara daerah lain. Selain itu masih
ditambah lagi dengan mereka yang tinggal di belahan bumi lain seperti Suriname.
Namun, pergeseran aksara Jawa sebagai bahasa tertulis dari bahasa
Jawa kini terlihat sangat jelas pada masyarakat Jawa modern. Faktor
penyebab bergeser dan memudarnya aksara Jawa, yaitu faktor intern seperti kurangnya
kesadaran dalam memelestarikan aksara Jawa dan faktor ekstern seperti adanya
pengaruh budaya asing yang bertolak belakang dengan kebudayaan Jawa.
Saat ini, dapat dikatakan aksara Jawa merupakan
aksara yang tidak fungsional. Hampir tidak ditemukan naskah-naskah baru yang
tertulis dengan aksara Jawa. Kecuali hanya beberapa, misalnya sebagai interior
atau eksterior bangunan, atau pun hanya terdapat di dalam buku pelajaran bahasa
Jawa. Sementara itu, hanya sebagian kecil masyarakat Jawa yang menguasai
penulisan aksara Jawa. Itu pun mayoritas adalah orang-orang lanjut usia,
karena pada masa kecilnya selalu diajarkan menulis menggunakan aksara Jawa dan
mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat Jawa tempo dulu
pun sangat mematuhi adat istiadat atau perintah yang telah dikeluarkan Sultan
atau Raja mereka, sehingga mereka dapat menguasai bahasa Jawa terlebih aksara
Jawa. Sedangkan generasi muda justru kehilangan minat terhadap aksara Jawa.
Pengaruh ini disebabkan oleh generasi muda yang lebih menyukai budaya modern
dibandingkan dengan budaya Jawa. Mereka menganggap budaya modern memberikan
kebebasan kepada mereka untuk berekspresi tanpa harus mematuhi sebuah aturan.
Selain itu, modernisasi mengubah cara pandang generasi muda masyarakat Jawa,
yaitu budaya Jawa terutama aksara Jawa adalah kuno, kebudayaan klasik yang
tidak dapat diimplementasikan pada zaman modern.
Pergeseran dan pemudaran aksara Jawa juga
terlihat dari fungsi aksara Jawa saat ini, yang hanya berfungsi sebagai
pengetahuan yang diajarkan kepada siswa sekolah dasar. Sementara itu di tingkat
lanjutan hanya beberapa sekolah yang memasukkan pembelajaran bahasa dan aksara
Jawa ke dalam mulok. Itu pun tidak sampai menjadi ketrampilan karena tidak
difungsikan sebagai aksara penulisan sehari-hari. Sementara pada level
perguruan tinggi hanya ada beberapa yang memberikan fasilitas pendidikan
bahasa, aksara dan sastra serta kesenian Jawa. Oleh karena itu, mata pelajaran
bahasa Jawa termasuk pengetahuan menuliskan aksara Jawa tidak akan dapat
menempati kedudukan sebagai kebutuhan hidup orang Jawa, melainkan dianggap
sebagai siksaan oleh para siswa. Sebab siswa beranggapan bahwa pengajaran
pengetahuan menulis aksara Jawa itu hanya menambah beban pekerjaan mereka saja.
Mereka pun menganggap pembelajaran aksara Jawa tidak bermanfaat bagi mereka.
Kemudian muncul spekulasi bahwa sekolah yang disebut sebagai lembaga pendidikan
dijadikan sebagai salah satu faktor yang menyebabkan bergesernya aksara Jawa
pada masyarakat Jawa modern. Ini disebabkan sekolah hanya menuntut siswa dapat
menulis dengan aksara latin atau abjad.
Penyebab lain bergeser dan memudarnya aksara
Jawa pada masyarakat Jawa modern adalah beralihnya fungsi aksara Jawa zaman
dahulu dengan fungsi aksara Jawa saat ini. Pada masa terdahulu aksara Jawa
berfungsi sebagai alat untuk menciptakan suatu karya sastra, sedangkan fungsi
aksara Jawa saat ini hanya sebagai lambang kebanggaan daerah dan masyarakat
Jawa, artinya hanya sebagai lambang identitas daerah dan masyarakat Jawa,
sebagai pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia, serta sarana pendukung
daerah dan budaya Indonesia.
Dalam hal ini faktor ekstern, yaitu pengaruh
globalisasi dan modernisasi pun tidak mungkin dihindari. Penggunaan tulisan
latin (abjad) dianggap masyarakat
Jawa lebih praktis dibandingkan menggunakan aksara Jawa. Persepsi ini muncul
karena di dalam aksara Jawa terdapat aturan-aturan yang harus digunakan,
padahal sebagian masyarakat tidak mengetahuinya. Penyebab lain, yaitu kebiasaan
masyarakat yang menulis dengan menggunakan aksara latin, dan masyarakat awam
lebih memahami aksara latin. Ditambah lagi, Negara Indonesia adalah negara yang
aksaranya menggunakan aksara latin atau abjad.
D. Penutup
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa
pergeseran dan pemudaran aksara Jawa dalam masyarakat Jawa saat ini disebabkan
oleh modernisasi yang mempengaruhi aksara Jawa dan penurunan penggunaan aksara
Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Ditambah, kurangnya kesadaran masyarakat Jawa
terutama generasi muda untuk melestarikan aksara Jawa yang merupakan kebudayaan
Jawa itu sendiri. Selain itu tidak menutup kemungkinan bahwa aksara Jawa akan
punah dikemudian hari seperti beberapa aksara daerah lain di Indonesia.
Maka perlu dilakukan berbagai upaya dalam
melestarikan aksara Jawa. Dalam makalahnya pada Kongres Bahasa Jawa III, Abdul
Wahab menuliskan tentang upaya pembinaan yang dapat dilakukan dalam
meningkatkan mutu apresiasi sastra daerah yang di dalamnya termasuk bahasa,
aksara dan sastra Jawa. Upaya peningkatan ini bisa dilakukan melalui
pendidikan, pengajaran, pemasyarakatan, dan pemberdayaan bahasa, aksara dan
sastra daerah. Secara konkrit sebagai berikut:
1.
Adakan pendidikan dan pengajaran
sastra daerah tersendiri sebagai mata pelajaran dalam kurikulum, bukan
merupakan bagian kecil dari pendidikan dan pengajaran bahasa daerah,
2.
Adakan guru-guru satra daerah yang
bermutu,
3.
Adakan atmosfir yang bermutu untuk
mendukung penciptaan karya sastra yang bermutu pula,
4.
Manfaatkan tokoh-tokoh sastra
daerah yang masih kreatif dan produktif,
5.
Berikan penghargaan yang wajar
kepada sastrawan daerah, dan adakan penerjemahan karya sastra yang memiliki
nilai universal.
Masih menurut Abdul Wahab, aksara daerah
memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan budaya daerah. Ada
bebrapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengembalikan eksistensi aksara daerah
(khususnya aksara Jawa) dengan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya dicantumkan pada mata uang, petunjuk-petunjuk produk Indonesia
sebagaimana produsen-produsen Cina, Arab, Thailand, dan lain-lain.
Namun, dalam hal ini yang sangat diperlukan,
yaitu peran pemerintah untuk mengkoordinasi, supaya budaya Jawa terutama aksara
Jawa tidak mengalami kepunahan di zaman modern ini. Misalnya saja dengan
mengadakan seminar-seminar tentang bahasa dan sastra Jawa. Mendirikan
museum-museum yang memuat koleksi-koleksi sastra Jawa yang dapat menjadi satu
alternatif untuk mengenalkan aksara Jawa. Alternatif lain dapat berupa bedah
kitab-kitab Jawa maupun penyelenggarakan festifal budaya Jawa secara periodik.
Penyuluhan oleh sarjana-sarjana sastra Jawa terhadap masyarakat juga merupakan
peran aktif pemerintah.
Upaya lain yang dapat dilakukan yakni dengan
meningkatkan penggunaan aksara Jawa. Hal tersebut dapat dilakukan melalui
pendidikan dan peningkatan pengajaran di sekolah, yaitu dengan meningkatkan mata
pelajaran bahasa Jawa dalam muatan lokal, dan dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari. Artinya, seluruh lapisan masyarakat sangat berperan dalam
pelestrian aksara Jawa agar tidak pudar, terutama generasi muda. Ini
disebabkan, generasi muda adalah penerus masa depan yang dapat melestarikan
aksara Jawa, tanpa peran generasi muda maka aksara Jawa akan hilang dari
peradaban masyarakat Jawa. Walaupun begitu, generasi tua tetap harus berperan
dalam melestarikan aksara Jawa yaitu dengan mengajarkan aksara Jawa kepada
generasi muda. Sedangkan dalam mengantisipasi pengaruh negatif dari
perkembangan zaman atau globalisasi dapat digunakan setrategi-strategi atau
cara agar tidak mudah terpengaruh antara lain beradaptasi, luwes, pandai,
fleksibel tetapi waspada dan juga harus selalu menanamkan kebanggaan dan
kecintaan yang mendalam terhadap budaya Jawa.
Namun, esensi dari upaya-upaya tersebut adalah
kesadaran betapa penting dan luhurnya aksara Jawa dari masyarakat Jawa sendiri.
Untuk itu yang paling penting dalam pelestarian aksara Jawa adalah penanaman
kesadaran masyarakat Jawa bahwa bahasa, aksara dan sastra Jawa merupakan
bukti historis masyarakat Jawa. Kesadaran akan fungsi-fungsi menjaga dan
melestarikan aksara Jawa merupakan pondasi untuk mewujudkan upaya-upaya yang
telah disebutkan di atas.
Dengan demikian tidak seharusnya muncul kalimat
“wong jowo ilang jawane” atau “wong jowo ora njawani” yang memiliki inti makna
yang sama, yaitu orang Jawa yang tidak bertingkah laku seperti halnya orang
Jawa. Maka kita sebagai orang Jawa, dari sekarang harus mencerminkan tingkah
laku orang Jawa dengan cara mempelajari dan melesetarikan bahasa Jawa terutama
aksara Jawa. Jangan sampai modernisasi mencengkeram aksara Jawa dalam peradaban
masyarakat Jawa, yang sebelumnya sekelompok kasepuhan (golongan tua) telah
memprediksi bahwa kebudayaan Jawa hanya akan sampai tiga generasi lagi. Maka, hal
ini jangan sampai terjadi.
Daftar Pustaka
Anonim. 2011. Sastra Jawa.
Diakses
pada tanggal 18 Juni 2012 10.05 WIB
Anonim. 2011. Sejarah dan Arti Huruf Aksara Jawa.
Diakses
pada tanggal 19 Juni 2012 pukul 08.43 WIB
Anonim. 2012. Aksara Jawa.
Diakses
pada tanggal 19 Juni 2012 pukul 09.10 WIB
Anonim. 2012. Pengantar Aksara Jawa.
Diakses
pada tanggal 19 Juni 2012
Muchlis. Budaya.
Diakses
pada tanggal 20 Juni 2012
Risha. 2010. Faktor yang Menyebabkan
Bergesernya Aksara Jawa pada Masyarakat Jawa.
Diakses
pada tanggal 19 Juni 2012 pukul 09.40 WIB
Sumaryono. 2009. Kawuryan Basa Jawa Kangge SMA, MA, SMK Kelas X Semester 1. Sleman :
MGMP Bahasa Jawa Kabupaten Sleman.
0 komentar:
Posting Komentar